GANGGUAN
DALAM PERKEMBANGAN JIWA KEAGAMAAN
BAB I
PENDAHULUAN
Aspek
kejiwaan yang berkaitan dengan keagamaan mengalami prosesperkembangan menurut
fase-fase tertentu dalam mencapai tingkat kematangannya. Para ahli Psikologi
agama membedakan tingkat perkebngan tersebut dari berbagai pendekaan. Ernest
Harms misalnya, menggunakan pendekatan berdasarkan tingkat usia perkembangan
agama pada anak-anak menjelang usia dewasa. Kemudian Sigmung Freud menggunakan
gejala-gejala ketaksadaran, Edward Sparanger menggunakan pendekatan berdasarkan
pandangan hidup. Dan masih banyak pendekatan yang dapat digunakan dalam
mengkaji perkembangan jiwa keagamaan.
Berbagai
pendekatan yang digunakan tersebut mengisyaratkan bahwa jika keagamaan bukan
merupakan aspek psikis bersifat instinktif, yaitu unsure bawaan yang siap
pakai. Dengan demikian, jiwa keagamaan tidak luput dari berbagai gangguan yang
dapat mempengaruhi perkembangannya. Pengaruh tersebut baik yang bersumber dari
dalam diri seseorang maupun yang bersumber dari faktor luar.
BAB II
PEMBAHASAN
GANGGUAN DALAM PERKEMBANGAN JIWA
KEAGAMAAN
A.
Faktor Intern
1.
Faktor Hereditas
Jiwa
keagamaan memang bukan secara langsung sebagai faktor bawaan yang diwariskan
secara turun menurun, melainkan terbentuk dari berbagai unsure kejiwaan lainnya
yang mencakup kognitif, afektif, dan konatif. Tetapi dalam penelitian terhadap
janin terungkap bahwa makanan dan perasaan ibu berpengaruh terhadap kondisi
janin yang dikandungnya.
Meskipun
belum dilakukan penelitian mengenai hubungan antara sifat-sifat kejiwaan anak
dengan orang tuanya, namun tampaknya pengaruh tersebut dapat dilihat dari
hubungan emosional. Rasul saw menyatakan bahwa daging makanan yang haram, maka
nerakalah yang lebih berhak atasnya. Pernyataan ini setidaknya menunjukkan
bahwa ada hubungan antara status hukum makanan (halal dan haram) dengan sikap.
Perbuatan
buruk dan tercela jika dilakukan, menurut Sigmund Freud akan menimbulkan rasa
bersalah (sense of guilt) dalam diri pelakunya. Bila pelanggaran yang
dilakukan terhadap larangan agama, maka pada diri pelakunya akan timbul rasa
berdosa. Dan perasaan seperti ini barangkali yang ikut mempengaruhi jiwa
keagamaan sebagai unsure hereditas.
2.
Tingkat Usia
Dalam
bukunya The Development of Religious on Children Ernest Harms
mengungkapkan bahwa perkembangan agama pada anak-anak ditentukan oleh tingkat
usia mereka. Perkembangan tersebut dipengaruhi oleh perkembangan berbagai aspek
kejiwaan termasuk perkembangan berpikir. Ternyata, anak yang menginjak usia
berpikir kritis lebih kritis pula dalam memahami ajaran agama. Selanjutnya,
pada usia remaja saat mereka menginjak usia kematangan seksual, pengaruh itu
pun menyertai perkembangan jiwa keagamaan mereka.
Tingkat
perkembangan usia dan kondisi yang dialami para remaja ini menimbulkan konflik
kejiwaan, yang cenderung mempengaruhi terjadinya konversi agama.
Hubungan
antara perkembangan usia dengan perkembangan jiwa keagamaan tampaknya tak dapat
dihilangkan begitu saja. Bila Konversi lebih dipengaruhi oleh suegsti, maka
tentunya konversi akan lebih banyak terjadi pada anak-anak, mengingat di
tingkat usia tersebut mereka lebih mudah menerima sugesti.
Terlepas
dari ada tidaknya hubungan konversi dengan tingkat usia seseorang, namun
hubungan antara tingkat usia dengan perkembangan jiwa keagamaan barangkali tak
dapat diabaikan begitu saja. Berbagai penelitian Psikologi Agama menunjukan
adanya hubungan tersebut, meskipun tingkat usia bukan merupakan satu-satunya
factor penentu dalam perkembangan jiwa keagamaan seseorang. Yang jelas,
kenyataan ini dapat dilihat dari adanya perbedaan pemahaman agama pada tingkat
usia yang berbeda.
3.
Kepribadian
Kepribadian
menurut pandangan psikologi terdiri dari dua unsur, yaitu unsur hereditas dan
pengaruh lingkungan. Hubungan antara unsur hereditas dengan pengaruh lingkungan inilah yang membentuk
kepribadian. Adanya kedua unsur yang mebentuk kepribadian itu menyebabkan
munculnya konsep tipologi dan karakter. Tipologi lebih ditekankan kepada unsur
bawaan, sedangkan karakter lebih ditekankan oleh adanya pengaruh lingkungan.
Berangkat dari pendekatan tipologis
maupun karakteroligis, maka terlihat ada unsur-unsur yang bersifat tetap dan
unsur-unsur yang dapat berubah membentuk struktur kepriadian manusia.
Unsur-unsur yang bersifat tetap berasal dari unsur bawaan, sedangkan yang dapat
berubah adalah karakter.
Unsur pertama (bawaan) merupakan
faktor intern yang memberi ciri khas pada diri seseorang. Dalam kaitan ini
kepribadian sering disebut identitas (jati diri) seseorang yang sedikit
banyaknya menampilkan ciri-ciri pembeda dari individu lain di luarnya. Dalam
kondisi normal, memang secara individu manusia memiliki perbedaan dalam
kepribadiannya. Dan perbedaan ini diperkirakan berpengaruh terhadap
perkembangan aspek-aspek kejiwaan termasuk jiwa keagamaan. Di luar itu,
dijumpai pula kondisi kepribadian yang menyimpang seperti kepribadian ganda (double
personality) dan sebagainya. Kondisi seperti ini bagaimanapun ikut
mempengaruhi perkembanagn berbagai aspek kejiwaan pula.
4.
Kondisi Kejiwaan
Kondisi
kejiwaan ini terkait dengan kepribadian sebagai faktor intern. Ada beberapa
model pendekatan yang mengungkapkan hubungan ini. Model Psikodinamik yang
dikemukakan Sigmund Freud menunjukan gangguan kejiwaan ditibulkan oleh konflik
yang tertekan di alam ketidaksadaran manusia. Konflik akan menjadi sumber
gejala kejiwaan yang abnormal. Selanjutnya, menurut pendekatan biomedis, fungsi
tubuh yang dominan mempengaruhi kondisi jiwa seseorang. Penyakit ataupun faktor
genetik atau sistem saraf diperkirakan menjadi sumber munculnya perilaku
abnormal. Kemudian pendekatan eksistensial menekankan pada dominasi pengalaman
kekinian manusia. Dengan demikian, sikpa manusia ditentukan oleh stimulant
(rangsangan) lingkungan yang dihadapinya saat itu.
Walaupun
kemudian ada pendekatan model gabungan. Enurut pendekatan ini pola kepribadian
dipengaruhi oleh berbagai faktor dan bukan hanya oleh faktor-faktor tertentu
saja[1][1].
Pendekatan-pendekatan psikologi kepribadian ini menginformasikan bagaimana
hubungan kepribadian dengan kondisi
kejiwaan manusia. Hubungn ini selanjutnya mengungkapkan bahwa ada suatu kondisi
kejiwaan yang cenderung bersifat permanent pada diri manusia yang terkadang
bersifat menyimpang (abnormal).
Gejala-gejala
kejiwaan yang abnormal ini bersumber dari kondisi saraf (neurosis),
kejiwaan (psychosis) dan kepribadian (personality). Kondisi
kejiwaan yang bersumber dari neurose ini
menimbulkan gejala kecemasan neurose, absesi, dan kompulasi serta
amnesia[2][2].
Kemudian, kondisi kejiwaan yag disebabkan oleh gejala psikosis umumnya
menyebabkan seseorang kehilangan kontak hubungan dengan dunia nyata. Gejala ini
ditemui pada penderita schizophrenia, paranoia, maniac, serta infantile
autism.
Banyak
jenis perilaku abnormal yang bersumber dari kondisi kejiwaan yang tak wajar
ini. Tetapi yang penting dicermati adalah hubungannya dengan perkembangan jiwa
keagamaan. Sebab bagaimanapun seorang yang mengidap schizopernia akan
mengisolasi diri dari kehidupan social serta persepsinya tentang agama akan
dipengaruhi oleh berbagai halusinasi. Demikian pula pengidap phobia akan
dicekam oleh perasaan takut yang irasional. Sedangkan penderita infantile
autisme akan berperilaku seperti anak-anak di bawah usia sepuluh tahun.
B.
Faktor Ekstern
1.
Lingkungan Keluarga
Keluarga
merupakan satuan sosial yang paling sederhana dalam kehidupan manusia.
Anggota-anggotanya terdiri atas ayah ibu dan anak-anak. Bagi anak-anak,
keluarga merupakan lingkungan sosial pertama yang dikenalnya. Dengan demikian,
kehidupan keluarga menjadi fase sosialisasi awal bagi pembentukan jiwa
keagamaan anak.
Pengaruh
kedua orangtua terhadap perkembangan jiwa keagamaan anak dalam pandangan Islam
sudah lama disadari. Oleh karena itu, sebagai intervensi terhadap perkembangan
jiwa keagamaan tersebut, kedua orangtua diberikan beban tanggungjawab. Ada
semacam rangkaian ketentuan yang dianjurkan kepada orangtua, yaitu mengazankan
ke telinga bayi yang baru lahir, mengakikah, memberi nama yang baik, mengajarkan
membaca al-Qur’an, membiasakan shalat serta bimbingan lainnya yang sejalan
dengan perintah agama. Keluarga dinilai sebagai faktor yang paling dominan
dalam meletakkan dasar bagi perkembangan jiwa keagamaan.
2.
Lingkungan Institusional
Lingkungan
institusional yang ikut mempengaruhi perkembangan jiwa keagamaan dapat berupa
institusi formal seperti sekolah ataupun yang nonformal seperti berbagai
perkumpulan dan organisasi.
Sekolah
sebagai institusi formal ikut memberi pengaruh dalam membantu perkembangan
kepribadian anak. Menurut Singgih D. Gunarsa pengaruh itu dapat dibagi tiga
kelompok, yaitu: 1) kurikulum dan anak; 2) hubungan guru dan murid; 3) hubungan
antar anak[3][3].
Dilihat dari kaitannya dengan perkembangan jiwa keagamaan, tampaknya ketiga kelompok
tersebut ikut berpengaruh. Sebab, pada prinsipnya perkembangan jiwa keagamaan
tak dapat dilepaskan dari upaya untuk membentuk kepribadian yang luhur, dalam
ketiga kelompok itu secara umum tersirat unsur-unsur kejujuran, simpati,
sosiabilitas, toleransi, keteladanan, sabar dan keadilan Perlakuan dan
pembiasaan bagi pembentukan sifat-sifat seperti itu umumnya menjadi bagian dari program
pendidikan di sekolah.
Melalui
kurikulum, yang berisi materi pengajaran, sikap, dan keteladanan guru sebagai
pendidik serta pergaulan antarteman di sekolah sinilai berperan dalam
menanamkan kebiasaan yang baik. Pembiasaan yang baik merupakan bagian dari
pembentukan moral yang erat kaitannya dengan perkembangan jiwa keagamaan
seseorang.
3.
Lingkungan Masyarakat
Lingkungan
masyarakat merupakan lingkungan yang mengandung unsur tanggung jawab, melainkan
hanya merupakan unsure pengaruh belaka[4][4],
tetapi norma dan tata nilai yang ada terkadang lebih mengikat sifatnya. Bahkan
terkadang pengaruhnya lebih besar dalam perkembangan jiwa keagamaan, baik dalam
bentuk positif maupun negative. Misalnya, lingkungan masyarakat yang memiliki
tradisi keagamaan yang kuat akan berpengaruh positif bagi perkembangan jiwa
keagamaan anak, sebab kehidupan keagamaan terkondisi dalam tatanan nilai maupun
institusi keagamaan. Keadaan seperti ini bagaimanapun akan berpengaruh dalam
pembentukan jiwa keagamaan warganya.
Sebaliknya,
dalam lingkungan masyarakat yang lebih cair atau bahkan cenderung sekuler,
kondisi seperti ini jarang dijumpai. Kehidupan warganya lebih longgar, sehingga
diperkirakan turut mempengaruhi kondisi kehidupan keagamaan warganya.
C.
Fanatisme dan Ketaatan
Suatu
tradisi keagamaan dapat menimbulkan dua sisi dalam perkembangan jiwa keagamaan
seseorang, yaitu fanatisme dan ketaatan. Mengacu kepada pendapat Erich Fromm
bahawa karakter terbina melalui asimilisai dan sosialisasi, maka tradisi
keagamaan memenuhi kedua aspek tersebut.
Suatu Tradisi keagamaan membuka
peluang bagi warganya untuk berhubungan dengan warga lainnya (sosialisasi).
Selain itu juga, terjadi hubungan dengan benda-benda yang mendukung berjalannya
tradisi keagamaan tersebut (asimilasi), seperti institusi keagamaan dan
sejenisnya. Hubungan ini menurut tesis Erich Fromm berpengaruh terhadap
pembentukan karakter seseorang.
David Riesman melihat ada tiga model
konfirmitas karakter, yaitu: 1) arahan tradisi (tradition directed); 2)
arahan dalam (inner directed); dan 3) arahan orang lain (other
directed), sebagai jabaran tipe karakter [5][5].Tetapi
tulis Gardon Allport, Buss dan Plomin, perkembangan emosional merupakan sentral
bagi konsep tempramen dan kepribadian[6][6].
Pendapat tersebut mengungkapkan bahwa
karakter terbentuk oleh pengaruh lingkungan dan dalam pembentukan kepribadian,
aspek emosional dipandang sebagai unsur dominan. Fanatisme dan ketaatan
terhadap ajaran agama agaknya tak dapat dilepaskan dari peran aspek emosional.
David Riesman melihat bahwa tradisi
cultural sering dijadikan penentu dimana seorang harus melakukan apa yang telah
dilakukan nenek moyang[7][7].
Dalam menyikapi tradisi keagamaan juga tak jarang munculnya keenderungan
seperti itu. Jika kecenderungan taklid keagamaan tersebut dipengaruhi unsure
emosional ini akan menjurus kepada fanatisme. Sifat fanatisme dinilai merugikan
bagi kehidupan beragama. Sifat ini dibedakan dari ketaatan. Sebab, ketaatan
merupakan upaya untuk menampilkan arahan dalam (inner directed) dalam
menghayati dan mengamalkan ajaran agama.
[3][3] Y. Singgih
D. Gunarsa dan Singgih D. Gunarsa, Psikologi untuk Membimbing, Jakarta:
Gunung Mulia, 1989, hal 96.
[4][4] Sutari Imam
Barnadib, Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis, Yogyakarta: FIP-IKIP,
1987 hal. 117.
[5][5] Phillip K.
Back, Continuites in Psychological Anthropology, San Fransisco, W.H.
Freeman and Coy, 1980, hal. 121-122.
[6][6] William T.
Garrison, & Felson J. Earls, Temprament
and Child Psychology, vol 12, London, 1987, hal. 39.
[7][7] Phillip K.
Back, Continuites in Psychological Anthropology, San Fransisco, W.H.
Freeman and Coy, 1980, hal. 121