Senin, 23 Juli 2012

MAKALAH PSIKOLOGI AGAMA

GANGGUAN DALAM PERKEMBANGAN JIWA KEAGAMAAN

BAB I
PENDAHULUAN

Aspek kejiwaan yang berkaitan dengan keagamaan mengalami prosesperkembangan menurut fase-fase tertentu dalam mencapai tingkat kematangannya. Para ahli Psikologi agama membedakan tingkat perkebngan tersebut dari berbagai pendekaan. Ernest Harms misalnya, menggunakan pendekatan berdasarkan tingkat usia perkembangan agama pada anak-anak menjelang usia dewasa. Kemudian Sigmung Freud menggunakan gejala-gejala ketaksadaran, Edward Sparanger menggunakan pendekatan berdasarkan pandangan hidup. Dan masih banyak pendekatan yang dapat digunakan dalam mengkaji perkembangan jiwa keagamaan.
Berbagai pendekatan yang digunakan tersebut mengisyaratkan bahwa jika keagamaan bukan merupakan aspek psikis bersifat instinktif, yaitu unsure bawaan yang siap pakai. Dengan demikian, jiwa keagamaan tidak luput dari berbagai gangguan yang dapat mempengaruhi perkembangannya. Pengaruh tersebut baik yang bersumber dari dalam diri seseorang maupun yang bersumber dari faktor luar.


BAB II
PEMBAHASAN
GANGGUAN DALAM PERKEMBANGAN JIWA KEAGAMAAN
  A.   Faktor Intern
1.      Faktor Hereditas
Jiwa keagamaan memang bukan secara langsung sebagai faktor bawaan yang diwariskan secara turun menurun, melainkan terbentuk dari berbagai unsure kejiwaan lainnya yang mencakup kognitif, afektif, dan konatif. Tetapi dalam penelitian terhadap janin terungkap bahwa makanan dan perasaan ibu berpengaruh terhadap kondisi janin yang dikandungnya.
Meskipun belum dilakukan penelitian mengenai hubungan antara sifat-sifat kejiwaan anak dengan orang tuanya, namun tampaknya pengaruh tersebut dapat dilihat dari hubungan emosional. Rasul saw menyatakan bahwa daging makanan yang haram, maka nerakalah yang lebih berhak atasnya. Pernyataan ini setidaknya menunjukkan bahwa ada hubungan antara status hukum makanan (halal dan haram) dengan sikap.
Perbuatan buruk dan tercela jika dilakukan, menurut Sigmund Freud akan menimbulkan rasa bersalah (sense of guilt) dalam diri pelakunya. Bila pelanggaran yang dilakukan terhadap larangan agama, maka pada diri pelakunya akan timbul rasa berdosa. Dan perasaan seperti ini barangkali yang ikut mempengaruhi jiwa keagamaan sebagai unsure hereditas.
2.      Tingkat Usia
Dalam bukunya The Development of Religious on Children Ernest Harms mengungkapkan bahwa perkembangan agama pada anak-anak ditentukan oleh tingkat usia mereka. Perkembangan tersebut dipengaruhi oleh perkembangan berbagai aspek kejiwaan termasuk perkembangan berpikir. Ternyata, anak yang menginjak usia berpikir kritis lebih kritis pula dalam memahami ajaran agama. Selanjutnya, pada usia remaja saat mereka menginjak usia kematangan seksual, pengaruh itu pun menyertai perkembangan jiwa keagamaan mereka.
Tingkat perkembangan usia dan kondisi yang dialami para remaja ini menimbulkan konflik kejiwaan, yang cenderung mempengaruhi terjadinya konversi agama.
Hubungan antara perkembangan usia dengan perkembangan jiwa keagamaan tampaknya tak dapat dihilangkan begitu saja. Bila Konversi lebih dipengaruhi oleh suegsti, maka tentunya konversi akan lebih banyak terjadi pada anak-anak, mengingat di tingkat usia tersebut mereka lebih mudah menerima sugesti. 
Terlepas dari ada tidaknya hubungan konversi dengan tingkat usia seseorang, namun hubungan antara tingkat usia dengan perkembangan jiwa keagamaan barangkali tak dapat diabaikan begitu saja. Berbagai penelitian Psikologi Agama menunjukan adanya hubungan tersebut, meskipun tingkat usia bukan merupakan satu-satunya factor penentu dalam perkembangan jiwa keagamaan seseorang. Yang jelas, kenyataan ini dapat dilihat dari adanya perbedaan pemahaman agama pada tingkat usia yang berbeda.
3.      Kepribadian
Kepribadian menurut pandangan psikologi terdiri dari dua unsur, yaitu unsur hereditas dan pengaruh lingkungan. Hubungan antara unsur hereditas dengan  pengaruh lingkungan inilah yang membentuk kepribadian. Adanya kedua unsur yang mebentuk kepribadian itu menyebabkan munculnya konsep tipologi dan karakter. Tipologi lebih ditekankan kepada unsur bawaan, sedangkan karakter lebih ditekankan oleh adanya pengaruh lingkungan.
          Berangkat dari pendekatan tipologis maupun karakteroligis, maka terlihat ada unsur-unsur yang bersifat tetap dan unsur-unsur yang dapat berubah membentuk struktur kepriadian manusia. Unsur-unsur yang bersifat tetap berasal dari unsur bawaan, sedangkan yang dapat berubah adalah karakter.
          Unsur pertama (bawaan) merupakan faktor intern yang memberi ciri khas pada diri seseorang. Dalam kaitan ini kepribadian sering disebut identitas (jati diri) seseorang yang sedikit banyaknya menampilkan ciri-ciri pembeda dari individu lain di luarnya. Dalam kondisi normal, memang secara individu manusia memiliki perbedaan dalam kepribadiannya. Dan perbedaan ini diperkirakan berpengaruh terhadap perkembangan aspek-aspek kejiwaan termasuk jiwa keagamaan. Di luar itu, dijumpai pula kondisi kepribadian yang menyimpang seperti kepribadian ganda (double personality) dan sebagainya. Kondisi seperti ini bagaimanapun ikut mempengaruhi perkembanagn berbagai aspek kejiwaan pula.
4.      Kondisi Kejiwaan
Kondisi kejiwaan ini terkait dengan kepribadian sebagai faktor intern. Ada beberapa model pendekatan yang mengungkapkan hubungan ini. Model Psikodinamik yang dikemukakan Sigmund Freud menunjukan gangguan kejiwaan ditibulkan oleh konflik yang tertekan di alam ketidaksadaran manusia. Konflik akan menjadi sumber gejala kejiwaan yang abnormal. Selanjutnya, menurut pendekatan biomedis, fungsi tubuh yang dominan mempengaruhi kondisi jiwa seseorang. Penyakit ataupun faktor genetik atau sistem saraf diperkirakan menjadi sumber munculnya perilaku abnormal. Kemudian pendekatan eksistensial menekankan pada dominasi pengalaman kekinian manusia. Dengan demikian, sikpa manusia ditentukan oleh stimulant (rangsangan) lingkungan yang dihadapinya saat itu.
Walaupun kemudian ada pendekatan model gabungan. Enurut pendekatan ini pola kepribadian dipengaruhi oleh berbagai faktor dan bukan hanya oleh faktor-faktor tertentu saja[1][1]. Pendekatan-pendekatan psikologi kepribadian ini menginformasikan bagaimana hubungan kepribadian  dengan kondisi kejiwaan manusia. Hubungn ini selanjutnya mengungkapkan bahwa ada suatu kondisi kejiwaan yang cenderung bersifat permanent pada diri manusia yang terkadang bersifat menyimpang (abnormal).
Gejala-gejala kejiwaan yang abnormal ini bersumber dari kondisi saraf (neurosis), kejiwaan (psychosis) dan kepribadian (personality). Kondisi kejiwaan yang bersumber dari neurose ini  menimbulkan gejala kecemasan neurose, absesi, dan kompulasi serta amnesia[2][2]. Kemudian, kondisi kejiwaan yag disebabkan oleh gejala psikosis umumnya menyebabkan seseorang kehilangan kontak hubungan dengan dunia nyata. Gejala ini ditemui pada penderita schizophrenia, paranoia, maniac, serta infantile autism.
Banyak jenis perilaku abnormal yang bersumber dari kondisi kejiwaan yang tak wajar ini. Tetapi yang penting dicermati adalah hubungannya dengan perkembangan jiwa keagamaan. Sebab bagaimanapun seorang yang mengidap schizopernia akan mengisolasi diri dari kehidupan social serta persepsinya tentang agama akan dipengaruhi oleh berbagai halusinasi. Demikian pula pengidap phobia akan dicekam oleh perasaan takut yang irasional. Sedangkan penderita infantile autisme akan berperilaku seperti anak-anak di bawah usia sepuluh tahun.
   
 B.  Faktor Ekstern
1.      Lingkungan Keluarga
Keluarga merupakan satuan sosial yang paling sederhana dalam kehidupan manusia. Anggota-anggotanya terdiri atas ayah ibu dan anak-anak. Bagi anak-anak, keluarga merupakan lingkungan sosial pertama yang dikenalnya. Dengan demikian, kehidupan keluarga menjadi fase sosialisasi awal bagi pembentukan jiwa keagamaan anak.
Pengaruh kedua orangtua terhadap perkembangan jiwa keagamaan anak dalam pandangan Islam sudah lama disadari. Oleh karena itu, sebagai intervensi terhadap perkembangan jiwa keagamaan tersebut, kedua orangtua diberikan beban tanggungjawab. Ada semacam rangkaian ketentuan yang dianjurkan kepada orangtua, yaitu mengazankan ke telinga bayi yang baru lahir, mengakikah, memberi nama yang baik, mengajarkan membaca al-Qur’an, membiasakan shalat serta bimbingan lainnya yang sejalan dengan perintah agama. Keluarga dinilai sebagai faktor yang paling dominan dalam meletakkan dasar bagi perkembangan jiwa keagamaan.
2.      Lingkungan Institusional
Lingkungan institusional yang ikut mempengaruhi perkembangan jiwa keagamaan dapat berupa institusi formal seperti sekolah ataupun yang nonformal seperti berbagai perkumpulan dan organisasi.
Sekolah sebagai institusi formal ikut memberi pengaruh dalam membantu perkembangan kepribadian anak. Menurut Singgih D. Gunarsa pengaruh itu dapat dibagi tiga kelompok, yaitu: 1) kurikulum dan anak; 2) hubungan guru dan murid; 3) hubungan antar anak[3][3]. Dilihat dari kaitannya dengan perkembangan jiwa keagamaan, tampaknya ketiga kelompok tersebut ikut berpengaruh. Sebab, pada prinsipnya perkembangan jiwa keagamaan tak dapat dilepaskan dari upaya untuk membentuk kepribadian yang luhur, dalam ketiga kelompok itu secara umum tersirat unsur-unsur kejujuran, simpati, sosiabilitas, toleransi, keteladanan, sabar dan keadilan Perlakuan dan pembiasaan bagi pembentukan sifat-sifat seperti itu  umumnya menjadi bagian dari program pendidikan di sekolah.
Melalui kurikulum, yang berisi materi pengajaran, sikap, dan keteladanan guru sebagai pendidik serta pergaulan antarteman di sekolah sinilai berperan dalam menanamkan kebiasaan yang baik. Pembiasaan yang baik merupakan bagian dari pembentukan moral yang erat kaitannya dengan perkembangan jiwa keagamaan seseorang.
3.      Lingkungan Masyarakat
Lingkungan masyarakat merupakan lingkungan yang mengandung unsur tanggung jawab, melainkan hanya merupakan unsure pengaruh belaka[4][4], tetapi norma dan tata nilai yang ada terkadang lebih mengikat sifatnya. Bahkan terkadang pengaruhnya lebih besar dalam perkembangan jiwa keagamaan, baik dalam bentuk positif maupun negative. Misalnya, lingkungan masyarakat yang memiliki tradisi keagamaan yang kuat akan berpengaruh positif bagi perkembangan jiwa keagamaan anak, sebab kehidupan keagamaan terkondisi dalam tatanan nilai maupun institusi keagamaan. Keadaan seperti ini bagaimanapun akan berpengaruh dalam pembentukan jiwa keagamaan warganya.
Sebaliknya, dalam lingkungan masyarakat yang lebih cair atau bahkan cenderung sekuler, kondisi seperti ini jarang dijumpai. Kehidupan warganya lebih longgar, sehingga diperkirakan turut mempengaruhi kondisi kehidupan keagamaan warganya. 

 C.    Fanatisme dan Ketaatan
Suatu tradisi keagamaan dapat menimbulkan dua sisi dalam perkembangan jiwa keagamaan seseorang, yaitu fanatisme dan ketaatan. Mengacu kepada pendapat Erich Fromm bahawa karakter terbina melalui asimilisai dan sosialisasi, maka tradisi keagamaan memenuhi kedua aspek tersebut.
          Suatu Tradisi keagamaan membuka peluang bagi warganya untuk berhubungan dengan warga lainnya (sosialisasi). Selain itu juga, terjadi hubungan dengan benda-benda yang mendukung berjalannya tradisi keagamaan tersebut (asimilasi), seperti institusi keagamaan dan sejenisnya. Hubungan ini menurut tesis Erich Fromm berpengaruh terhadap pembentukan karakter seseorang.
          David Riesman melihat ada tiga model konfirmitas karakter, yaitu: 1) arahan tradisi (tradition directed); 2) arahan dalam (inner directed); dan 3) arahan orang lain (other directed), sebagai jabaran tipe karakter [5][5].Tetapi tulis Gardon Allport, Buss dan Plomin, perkembangan emosional merupakan sentral bagi konsep tempramen dan kepribadian[6][6].
          Pendapat tersebut mengungkapkan bahwa karakter terbentuk oleh pengaruh lingkungan dan dalam pembentukan kepribadian, aspek emosional dipandang sebagai unsur dominan. Fanatisme dan ketaatan terhadap ajaran agama agaknya tak dapat dilepaskan dari peran aspek emosional.
          David Riesman melihat bahwa tradisi cultural sering dijadikan penentu dimana seorang harus melakukan apa yang telah dilakukan nenek moyang[7][7]. Dalam menyikapi tradisi keagamaan juga tak jarang munculnya keenderungan seperti itu. Jika kecenderungan taklid keagamaan tersebut dipengaruhi unsure emosional ini akan menjurus kepada fanatisme. Sifat fanatisme dinilai merugikan bagi kehidupan beragama. Sifat ini dibedakan dari ketaatan. Sebab, ketaatan merupakan upaya untuk menampilkan arahan dalam (inner directed) dalam menghayati dan mengamalkan ajaran agama.






[1][1] Arno F. Wittig, Introduction to Psychology, New York: Mc. Graw Hill Book, 1977, hal 264-265.
[2][2] Arno F. Wittig, Introduction to Psychology, New York: Mc. Graw Hill Book, 1977, hal 265.
[3][3] Y. Singgih D. Gunarsa dan Singgih D. Gunarsa, Psikologi untuk Membimbing, Jakarta: Gunung Mulia, 1989,  hal 96.
[4][4] Sutari Imam Barnadib, Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis, Yogyakarta: FIP-IKIP, 1987 hal. 117.
[5][5] Phillip K. Back, Continuites in Psychological Anthropology, San Fransisco, W.H. Freeman and Coy, 1980, hal. 121-122.
[6][6] William T. Garrison,  & Felson J. Earls, Temprament and Child Psychology, vol 12, London, 1987, hal. 39.
[7][7] Phillip K. Back, Continuites in Psychological Anthropology, San Fransisco, W.H. Freeman and Coy, 1980, hal. 121

Kamis, 14 Juni 2012

BAHASA SEMIOTIKA FERDINAND de SUASSURE


PiramidaTerbalik
Belajar menulis berita bagi wartawan pemula memang membingungkan karena mereka harus mengikuti aturan penulisan cerita yang bertentangan dengan apa yang mereka pelajari di sekolah. Mereka diminta bercerita dengan urutan informasi yang terbalik dari metode tradisional. Mereka diminta membuat kata dan kalimat yang pendek, menulis dengan kata kerja, paragrap yang berbeda dari yang pernah mereka pelajari dan manyak lagi. Kemudian, selagi berusaa mengingat semuanya itu, mereka diminta menyelesaikan tulisannya dalam waktu yang singkat. Belajar menulis untuk surat kabar adalah suatu proses yang menuntut kesungguhan usaha dan konsentrasi. Peraturan penulisan untuk surat kabar itu adalah suatu pertumbuhan dari tuntutan untuk berkomunikasi dengan audiences, yang berkembang dari dulu sebagai jawaban dari perubahan teknologi komunikasi.

Gaya penulisan pada zaman kolonial di Amerika dulu berbeda dari satu berita ke berita yang lain dalam satu surat kabar dan antara percetakan yang satu dengan yang percetakan yang lain, cenderung tidak berseni, memakai bahasa kasar sehari-hari dan naïf. Karena dianggap bahwa semua pembaca membaca seluruh isi surat kabar, maka tidak dibutuhkan suatu struktur berita untuk membangkitkan perhatian mereka.

Keadaan ini mulai berubah pada ahir tahun 1840-an, ketika surat kabar dihubungkan dengan penggunaan telegraf. Ketika itu timbul tekanan untuk mengubah cara penulisan berita. Hanya karena tindakan sederhana, yaitu mengirim berita melalui telegraf, wartawan surat kabar terpaksa harus menerapkan disiplin baru. Biaya telegraph waktu itu mahal pelayanan telegraf kerap terputus dan ada persaingan antar surat kabar. Adalah hal yang biasa bila terjadi suatu bencana, sejumlah wartawan meyerbu satu operator telegraph, masing-masing menuntut untuk mendapat pelayanan lebih dulu. Untuk menghindari “pertumpahan darah”, pelayan telegraph menerapkan peraturan untuk mengirim satu paragraph untuk setiap tulisan wartawan, bergiliran, kemudian mengirim paragraph yang berikutnya dan begitu seterusnya.

Dihadapkan dengan kemungkinan bahwa surat kabar mereka hanya menerima satu atau dua paragraf sebelum deadline, maka wartawan membuat paragraph pertama dari cerita mereka menjadi suatu ringkasan yang lengkap dari berita. Kemudian, ketika mereka mendapatkan waktu tambahan, mereka akan mengirimkan detail nya tetapi selalu dalam urutan kepentingan yang makin berkurang. Dengan membangun tulisan yang memuat ringkasan, atau lead, pada awal dan detail para akhir, wartawan melindungi dirinya, terlepas dimana berita itu mungkin terpotong karena terputusnya komunikasi atau deadline surat kabar, laporan mereka tetap dapat dimengerti seluruhnya. Maka lahirlah tulisan “piramida terbalik” dasar bagi jurnliasme modern dan kutukan bagi mereka yang baru belajar menulis berita.

Pada tahun 1880-an, kantor berita Associated Press menginstruksikan para penulisnya untuk menyampaikan semua fakta penting dalam paragraph pertama. John P. Dunning, seorang koresponden AP, yang meliput bencana topan di Samoa pada tahun 1889, menulis paragraph pembuka atau lead yang kemudian menjadi model pada masa itu :
Apia, Samoa, 30 maret – Topan yang paling dahsyat dan merusak yang pernah terjadi di Pacific Selatan melanda kepulawan Samoa pada tanggal 16 dan 17 Maret, dan sebagai akibatnya sebuah armada dengan enam kapal perang, dan sepuluh kapal lainnya hancur kandas di atas karang pelabuhan atau terhempas ke pantai di hadapan kota kecil Apia, dan 142 perwira dan orang-orang dari angkatan laut Amerika dan Jerman tidur selamanya di batu karang atau terkubur di kuburan tanpa tanda pengenal, ribuan mill dari negeri asal mereka.

Menurut ukuran sekarang, pembuka di atas terlalu panjang dan bertele-tele. Namun Dunning menunjukkan bahwa penulis yang baik bisa menjawab tuntutan gaya telegraphic dan tetap masih bisa menyampaikan berita itu dengan cara dramatik dan menarik. Berita yang dibuat dengan gaya demikian pun memungkinkan untuk dipotong secara drastis tanpa harus ditulis ulang sehingga membuat pekerjaan lebih mudah. Karena berita bisa dipotong dari bawah ke atas untuk menjawab keterbatasan ruang, maka bentuk piramida terbalik ini sangat cocok untuk surat kabar. Akhirnya, bagi pembaca yang tidak punya banyak waktu, bentuk tulisan ini memungkinkan mereka untuk menentukan berita mana yang mereka pilih untuk dibaca setelah sekilas membaca paragraf pertama atau lead, dari seluruh berita yang disajikan surat kabar.
Pada berita lugas, wartawan ingin menyampaikan informasi penting. Maka pembukaan atau lead ditempatkan pada awal berita, yang isinya berupa fokus peristiwa atau rikasan tentang apa yang terjadi. Karena itu disebut pembuka ringkasan (summary lead) pembukaan ini harus didukung oleh penjelasan yang isinya memperkuat informasi dalam pembuka misalnya pernyataan-pernyataan atau kutipan yang menjelaskan masalah utamanya dan keterangan-keterangan lain yang berhasil digali wartawan.

Pada berita lunak, wartawan ingin bercerita maka ia tidak memulai ceritanya dengan pembuka ringkasan yang berisi fokus peristiwa seperti pada berita lugas. Wartawan memilih kalimat pembukaan yang lebih kreatif, yang memancing pembaca, sehingga kalimat atau paragraf yang berisi fokus atau gagasan utama itu tidak lagi ditempatkan pada awal cerita. Kalimat atau paragraf yang berisi fokus dalam berita halus ini disebut nutshell paragraph, atau disebut nut graph saja. Karena pembaca umumnya tidak sabar untuk mengetahui inti (fokus) cerita, maka sebaliknya paragraf inti atau nut graph ini ditempatkan di dalam lima paragraf pertama dan cerita.
Secara keseluruhan pola penulisan berita halus atau feature :
Pembukaan yang dirancang untuk menarik perhatian pembaca.
Lead berupa kalimat atau paragraf yang mengajak atau mengusik pembaca agar mau melanjutkan baca. Isinya satu atau berupa fakta dasar : siapa, apa, bila, di mana, mengapa, bagaimana, lalu apa.
Dasar ini dikenal sebagai 5W+1H seperti yang diperkenalkan Rudyard Kipling, wartawan muda Inggris pada tahun 1890-an di India :
1.    keep six honest serving man/ (they taught me all I knew)/ their names are What and Why and When/And Where and How and Who. Tetapi jurnalisme sekarang perlu menambah unsur “So What” yang menyelidiki kedalaman implikasi suatu peristiwa atau situasi. Kebanyakan peristiwa tidak berdiri sendiri; mereka berhubungan dengan perkembangan dan issue yang menjadi perhatian masyarakat.
2.    Gambaran umum (general statement) tentang tema cerita. Bagian ini disebut paragraf inti bisa singkat dan eksplisit, bisa juga terdiri dari beberapa paragraf.
3.    Dua atau lebih butir pendukung dari tema cerita. Bagian ini adalah tubuh dari artikel.
Tubuh berita berisi fakta atau kutpian yang mendukung lead, termasuk menyebutkan (attribution) sumber informasi.
4.    Penutup atau ending yang kuat. Jika feature ditulis dengan baik, pembaca akan, membaca sampai akhir cerita. Lakukanlah ini dengan anekdot yang menarik, suatu sentuhan humor, kutipan penting, atau umpan untuk komentar. Banyak penutup yang dikaitkan dengan pembukaan feature, sehingga pertanyaan yang timbul pada paragraf pembukaan terjawab dengan puas pada akhir cerita.

Penutup atau ending, umumnya berisi kutipan sumber utama yang menyimpulkan issu
keseluruhan, penjelasan mengenai tindakan selanjutnya atau fakta tambahan lain.

SYARAT JUDUL BERITA

Judul adalah identitas berita. Tanpa judul, berita sehebat apapun tidak ada artinya. Judul berita sangat mendasar dilihat dari duasisi kepentingan.

Pertama, bagi berita itu sendiri. Tanpa judul, ia adalah sesuatu yang anonim, tak dikenal, abstrak, sehingga tak akan bicara apa-apa. Ia tak mampu memberi pesan, padahal salah satu inti komunikasi adalah pesan. Kedua, bagi khalayak pembaca. Judul adalah pemicu daya tarik pertama vagi pembaca untuk membaca suatu berita, atau justru segera melewati dan melupakannya. Judul berita yang baik harus memenuhi delapan syarat.

1.      Provokatif
Provokatif berarti judul yang kita harus buat harus membangkitkan minat dan perhatia sehingga khalayak pembaca tergoda seketika untuk membaca berita yang kita tulis, minimal sampai teras berita sampai perangkainya (bridge). Atau dua paragrap pertama yang memuat unsure 5W+1H (Who, What. When, Where, Why, How). Sifatnya psikologis. Fungsinya sangat strategis dan taktis. Kita mencubit wilayah afeksi, intuisi dan emosi mereka dalam bahasa pemasaran, judul adalah iklan bagi dan dalam dunia industri modern iklan menjadi penentu sukses-gagalnya pemasaran suatu produk ke tengah-tengah global. Bagi mereka tak ada produk yang baik tanpa iklan yang baik.
2.      Singkat dan Padat
Singkat dan padat berarti menusuk jantung, tegas, lugas, terfokus, menukik pada pokok intisari berita, tidak bertele-tele. Bagi pers judul yang singakat sangat diperlukan, paling tidak karena dua alasan. Pertama, karena keterbatasan tempat pada halaman-halaman media. Kedua, karena waktu dan situasi yang dimiliki pembaca sangat terbatas dan bergegas. Secara teknis, judul berita yang baik tidak lebih dari 4-7 kata.
3.      Relevan
Relevan artinya berkaiatn atau sesuai dengan pokok susunan pesan terpenting yang ignin disampaikan. Tidak menyimpang dari teras berita. Judul yang baik harus diambil dariteras berita (lead). Sedangkan teras berita yang baik harus mencerminkan keseluruhan uraian berita. Bagaiamnapun, judul berita sangat berlainann dengan judul yang biasa kita temukian pada karya-karya fiksi seperti cerita pendek atau novel. Pada cerita pendek, setiap kata yang terdapat dalam bangunan cerita dapat kita jadikan judul. Bebas, semau kita saja.
4.      Fungsional
Fungsional artinya seriap kata yang terdapat pada judul bersifat mandiri, berdiri sendiri, tidak bergantung pada kata yang lain, serta memilki arti yang tegas dan jelas. Sekalipun demikian, ketika digabung, kata-kata yang mnaidir itu melahirkn satu kesatuan pengertian dan makna yang utuh. Tidak saling menolak atau saling menagasikan.
5.      Formal
Berbeda dengan judul artikel yang sifatnya informl, maka judul berita harus dan wajib bersifat formal. Filosofinya: berita ditulis dengan tekhnik melaporkan. Formal berarti resmi, langsung menukik pada pokok masalah, sekaligus menghindari basa-basi dan eufimisme yang tidak perlu. Formal juga berarti judul yang kita buat tidak mendayu-dayu, tidak meliuk-liuk, tidak ragu-ragu apalagi mendua (ambigu).


6.      Representatif
Representative berarti judul berita yang sudah kita tetapkan memamg mewakili dan mencerminkan teras berita. Merujuk pada logika dan faedah penelitian ilmiah, judul berita harus mengandung dua variable: variabel bebas dan variabel terkait.
7.      Merujuk pada bahasa baku
judul adalah identitas terpenting sebuah berita. Sebagai identitas, tentu posisis dan repoutasi media yang memuat, menyiarkan atau yang menayangkannya dipertaruhkan. Bahkan karakter dan profesionalitas media sedikit banyak tercermin pada judul-judul berita yang ditulisnya.
8.      Spesifik
spesifik berarti judul berita tidak saja harus mewakili dan mencerminkan teras berita, tetapi juga sekaligus harus mengandung kata-kata khusus. Spesifik berarti pula judul berita jangan menggunakan kata-kata umum. Menurut para pakar bahasa, kata-kata umum kata-kata yang luas ruang lingkupnya. Kata-kata khusus ialah kata-kata yang sempit ruang lingkupnya. Makin umum, makin kabur gambarannya. Sebaliknya, makin khusus, makin jelas dan tepat gambarannya.

FILSAFAT PRA-SOCRATES


Filosuf yang hidup pada masa pra Socrates disebut para filosuf alam karena objek yang mereka jadikan pokok persoalan adalah alam. Yang dimaksud dengan alam (fusis) adalah kenyataan hidup dan kenyataan badaniah. Jadi, perhatian mereka mengarah kepada apa yang dapat diamati.[1]
Tokoh-tokoh yang hidup pada masa ini di antaranya adalah:
1. Thales (625-545 SM)
Thales adalah seorang saudagar Mesir yang juga ahli politik yang terkenal di Miletos. Ia dianggap sebagai bapak filosufi Yunani karena ia merupakan orang pertama yang berfilsafat. Ia mengajukan pertanyaan yang amat mendasar: What is the nature of the world stuff? (Apa sebenarnya bahan alam semesta ini?) (Mayer, 1950:18).[2]
Kesimpulan ajarannya adalah semuanya itu air. Air yang cair itu adalah pangkal, pokok dan dasar segala-galanya. Baginya, air adalah sebab yang pertama dari segala yang ada dan jadi, tetapi juga akhir dari segala yang jadi itu. Dengan kata lain, filosofi air adalah substrat (bingkai) dan substansi (isi) kedua-duanya.

2. Anaximandros (610-547 SM)
Anaximandros adalah salah satu murid Thales. Ia ahli astronomi dan ilmu bumi. Menurutnya, prinsip dasar alam adalah apeiron (zat yang tak terhingga dan tak terbatas dan tidak dapat dirupakan, tak ada persamaannya dengan apapun. Segala makhluk hidup berasal dari proses penguapan air samudera oleh matahari.

3. Anaximenes (585-494 SM)
Anaximenes adalah murid Anaximandros yang merupakan filosuf alam terakhir dari kota Miletos. Baginya, barang yang asal itu satu dan tidak terhingga. Udaralah yang satu dan tidak terhingga. Ia mengatakan: “Sebagaimana jiwa kita, yang tidak lain dari udara, menyatukan tubuh kita, demikian pula udara mengikat dunia ini jadi satu”. Menurut pendapatnya, udara itu benda. Meskipun dasar hidup dipandangnya sebagai benda, ia membedakan pula yang hidup dan yang mati.
Pemikirannya adalah reaksioner. Ia mengkiaskan dunia dengan diri kita: “Sebagaimana ruh dan jiwa kita terdiri dari udara yang mengelilingi kita, begitu juga nafas dan udara mengepung dunia keseluruhannya”.ia beranggapan bahwa bumi berbentuk bulat dan terapung di atas udara dari segala penjuru seperti daun kering yang sedang beterbangan.

4. Pythagoras (580-500 SM)
Ia terpengaruh aliran mistik yang berkembang di Yunani pada waktu itu, yang bernama Orfisisme. Pythagoras mendidik kebatinan dengan mensucikan ruh. Menurut kepercayaannya, manusia asalnya adalah Tuhan. Jiwa itu adalah penjelmaan dari Tuhan yang jatuh ke dunia karena berdosa. Dan ia akan kembali ke langit ke dalam lingkungan Tuhan bermula, apabila dosanya sudah habis dicuci.
Ia beranggapan bahwa hakikat dari segala sesuatu adalah angka. Angka adalah asal dari segalanya dan segala macam perhubungan dapat dilihat dari angka-angka.

5. Heraklitos (540-480 SM)
Heraklitos menyatakan bahwa asal segala sesuatu hanyalah satu anasir yaitu api. Setiap orang dapat melihat sifatnya, mudah bergerak dan mudah bertukar tempat. Api yang selalu bergerak dan berubah rupa itu menyatakan bahwa tak ada yang tenang dan tetap yang ada hanya pergerakan. Tidak ada yang boleh disebut ada, melainkan menjadi. semuanya itu dalam kejadian. Api ini dipandang sebagai sejenis dengan roh. Sebab asas hidup adalah api juga. Itulah sebabnya api disebut logos (akal, firman, arti), yaitu hukum yang menguasai segala sesuatu, yang juga menguasai manusia segala sesuatu terjadi sesuai dengan logos. Manusia juga harus hidup sesuai dengan logos itu.3

6. Parmenides (540-473 SM)
Parmenides mengatakan bahwa kebenaran adalah satu, namun berbeda-beda dari orang yang mengatakannya. Ia menganggap bahwa di dunia tak ada barang barunya, tidak ada barang lahir keduanya, dan tidak ada barang menghilang dari dunia.
Parmenides dianggap sebagai bapak Logika karena ajarannya mengenai identitas antara pikiran dan barang untuk mana pikiran itu diadakan. Menurutnya, ukuran kebenaran adalah akal manusia; ukuran kebenaran adalah manusia.

Bagi Parmenides, bulat adalah tanda yang sempurna. Yang ada itu bulat, mengisi lapang. Pada yang bulat, tiap-tiap tepinya selesai, tidak ada yang berupa putus.

7. Leukippos (sekitar 540 SM)
Leukippos adalah ahli piker yang pertama kali mengajarkan tentang atom. Menurut pendapatnya tiap benda terdiri dari atom. Yang dipakai sebagai dasar teorinya tentang atom ialah: yang penuh dan kosong. Atom dinamainya sebagai yang penuh sabagai benda betapapun kecilnya dan bertubuh. Setiap yang bertubuh mengisi lapangan yang kosong.
Ia menyatakan tidak mungkinnya ada penciptaan dan pemusnahan mutlak, akan tetapi ia tidak menolak kenyataan banyak, bergerak, lahir ke dunia dan menghilang yang tampak pada segala sesuatu.

8. Demokritos (460-360 SM)
Demokritos adalah murid Leukippos. Menurut Demokritos, segala sesuatu mengandung penuh dan kosong. Menurutnya, anasir yang pertama adalah api. Api terdiri dari atom yang sangat halus, licin dan bulat. Atom api itulah yang menajdi dasar dalam segala yang hidup. Atom api adalah jiwa.

9. Sofisme
Sofisme berasal dari kata sofis yang berarti cerdik pandai kemudian berkembang artinya menjadi bersilat lidah.

Pokok-pokok ajaran kaum sofis adalah:
1. Manusia menjadi ukuran segala-galanya
2. Kebenaran umum (mutlak) tidak ada
3. Kebenaran hanya berlaku sementara
4. Kebenaran tidak terdapat pada diri sendiri
Dengan ajarannya tersebut, Sofisme tergolong aliran relativisme. Ajarannya mempunyai pengaruh positif dan negative pada waktu itu. Pengaruh positifnya yaitu melahirkan banyak orang terampil berpidato. Sedangkan pengaruh negative nya adalah menjadikan orang tidak bertanggung jawab atas ucapan-ucapannya, sebab apa yang dikatakan hari ini untuk sesuatu, bias saj auntuk hari esoknya berlainan dengan dali bahwa kebenaran hanyalan berlaku sementara.
Tokoh-tokoh Sofisme antara lain:
1. Hippias
Hippias adalah seorang Sofis murni yang beranggapan bahwa pengetahuannya harus dikembangkan kepada orang lain. Pandangan hidupnya didasarkan atas formula gagasan kepuasan diri sebagai tujuan dari kelakuan dan etika orang, tidak dengan cara sinis dalam ‘bebas dari hajat dan kebutuhan’ akan tetapi denagnn berusaha sekuat tenaga untuk tidak bergantung kepada orang lain dengan memenuhi segala apa yang menjadi hak-hak seseorang.
2. Gorgias (483-375 SM)
Gorgias adalah seorang skeptic yang tidak mengakui adanya pengetahuan. Ia tidak ada, sekalipun ada maka tidak dapat disampaikan kepada orang lain. Ia mengemukakan tiga dalil:
1. Tak ada sesuatu yang ada, ini tentu erat hubunngannya dengan teori perkembangan abadi dari Heraklitos.
2. Kalau ada sesuatu maka tentu ia tak dapat diketahui.
3. Kalau bisa diketahui ia tentu tak dapat disampaikan kepada orang lain.
Ia berpendapat bahwa hukum alam adalah hukum yang kuat: ‘Adalah hukum alam bahwa yang kuat seharusnya tidak dihalang-ha;angi oleh yang lemah. Yang lemah diperintah dan dipimpin oleh yang kuat.; yang kuat berjalan di muka dan yang lemah mengikuti dari belakang’.

10. Zeno (sekitar 490 SM)
Zeno adalah salah satu murid Parmenides. Ia mempertahankan pendapat gurunya tidak denagn menyambung keterangan atau menambahkannya, melainkan dengan mengembalikan keterangan terhadap dalil-dalil orang-orang yang membantah pendapat gurunya.[3]
Menurutnya, diam adalah bila suatu benda pada suatu saat berada di suatu tempat.[4]


DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Sadali, Filsafat Umum, Pustaka Setia: Bandung, 2004
Dr. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 1,Penerbit Kanisus: Yogyakarta, 1980
Prof. Dr. Ahmad Tafsir, Filsafat umum, Rosda: Bandung, 2007.
[1] Dr. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 1,Penerbit Kanisus: Yogyakarta, 1980, hal. 16
[2] Prof. Dr. Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Rosda: Bandung, 2007

[4]Ahmad Sadali, Filsafat Umum, Pustaka Setia: Bandung, 2004