Senin, 23 Juli 2012

MAKALAH PSIKOLOGI AGAMA

GANGGUAN DALAM PERKEMBANGAN JIWA KEAGAMAAN

BAB I
PENDAHULUAN

Aspek kejiwaan yang berkaitan dengan keagamaan mengalami prosesperkembangan menurut fase-fase tertentu dalam mencapai tingkat kematangannya. Para ahli Psikologi agama membedakan tingkat perkebngan tersebut dari berbagai pendekaan. Ernest Harms misalnya, menggunakan pendekatan berdasarkan tingkat usia perkembangan agama pada anak-anak menjelang usia dewasa. Kemudian Sigmung Freud menggunakan gejala-gejala ketaksadaran, Edward Sparanger menggunakan pendekatan berdasarkan pandangan hidup. Dan masih banyak pendekatan yang dapat digunakan dalam mengkaji perkembangan jiwa keagamaan.
Berbagai pendekatan yang digunakan tersebut mengisyaratkan bahwa jika keagamaan bukan merupakan aspek psikis bersifat instinktif, yaitu unsure bawaan yang siap pakai. Dengan demikian, jiwa keagamaan tidak luput dari berbagai gangguan yang dapat mempengaruhi perkembangannya. Pengaruh tersebut baik yang bersumber dari dalam diri seseorang maupun yang bersumber dari faktor luar.


BAB II
PEMBAHASAN
GANGGUAN DALAM PERKEMBANGAN JIWA KEAGAMAAN
  A.   Faktor Intern
1.      Faktor Hereditas
Jiwa keagamaan memang bukan secara langsung sebagai faktor bawaan yang diwariskan secara turun menurun, melainkan terbentuk dari berbagai unsure kejiwaan lainnya yang mencakup kognitif, afektif, dan konatif. Tetapi dalam penelitian terhadap janin terungkap bahwa makanan dan perasaan ibu berpengaruh terhadap kondisi janin yang dikandungnya.
Meskipun belum dilakukan penelitian mengenai hubungan antara sifat-sifat kejiwaan anak dengan orang tuanya, namun tampaknya pengaruh tersebut dapat dilihat dari hubungan emosional. Rasul saw menyatakan bahwa daging makanan yang haram, maka nerakalah yang lebih berhak atasnya. Pernyataan ini setidaknya menunjukkan bahwa ada hubungan antara status hukum makanan (halal dan haram) dengan sikap.
Perbuatan buruk dan tercela jika dilakukan, menurut Sigmund Freud akan menimbulkan rasa bersalah (sense of guilt) dalam diri pelakunya. Bila pelanggaran yang dilakukan terhadap larangan agama, maka pada diri pelakunya akan timbul rasa berdosa. Dan perasaan seperti ini barangkali yang ikut mempengaruhi jiwa keagamaan sebagai unsure hereditas.
2.      Tingkat Usia
Dalam bukunya The Development of Religious on Children Ernest Harms mengungkapkan bahwa perkembangan agama pada anak-anak ditentukan oleh tingkat usia mereka. Perkembangan tersebut dipengaruhi oleh perkembangan berbagai aspek kejiwaan termasuk perkembangan berpikir. Ternyata, anak yang menginjak usia berpikir kritis lebih kritis pula dalam memahami ajaran agama. Selanjutnya, pada usia remaja saat mereka menginjak usia kematangan seksual, pengaruh itu pun menyertai perkembangan jiwa keagamaan mereka.
Tingkat perkembangan usia dan kondisi yang dialami para remaja ini menimbulkan konflik kejiwaan, yang cenderung mempengaruhi terjadinya konversi agama.
Hubungan antara perkembangan usia dengan perkembangan jiwa keagamaan tampaknya tak dapat dihilangkan begitu saja. Bila Konversi lebih dipengaruhi oleh suegsti, maka tentunya konversi akan lebih banyak terjadi pada anak-anak, mengingat di tingkat usia tersebut mereka lebih mudah menerima sugesti. 
Terlepas dari ada tidaknya hubungan konversi dengan tingkat usia seseorang, namun hubungan antara tingkat usia dengan perkembangan jiwa keagamaan barangkali tak dapat diabaikan begitu saja. Berbagai penelitian Psikologi Agama menunjukan adanya hubungan tersebut, meskipun tingkat usia bukan merupakan satu-satunya factor penentu dalam perkembangan jiwa keagamaan seseorang. Yang jelas, kenyataan ini dapat dilihat dari adanya perbedaan pemahaman agama pada tingkat usia yang berbeda.
3.      Kepribadian
Kepribadian menurut pandangan psikologi terdiri dari dua unsur, yaitu unsur hereditas dan pengaruh lingkungan. Hubungan antara unsur hereditas dengan  pengaruh lingkungan inilah yang membentuk kepribadian. Adanya kedua unsur yang mebentuk kepribadian itu menyebabkan munculnya konsep tipologi dan karakter. Tipologi lebih ditekankan kepada unsur bawaan, sedangkan karakter lebih ditekankan oleh adanya pengaruh lingkungan.
          Berangkat dari pendekatan tipologis maupun karakteroligis, maka terlihat ada unsur-unsur yang bersifat tetap dan unsur-unsur yang dapat berubah membentuk struktur kepriadian manusia. Unsur-unsur yang bersifat tetap berasal dari unsur bawaan, sedangkan yang dapat berubah adalah karakter.
          Unsur pertama (bawaan) merupakan faktor intern yang memberi ciri khas pada diri seseorang. Dalam kaitan ini kepribadian sering disebut identitas (jati diri) seseorang yang sedikit banyaknya menampilkan ciri-ciri pembeda dari individu lain di luarnya. Dalam kondisi normal, memang secara individu manusia memiliki perbedaan dalam kepribadiannya. Dan perbedaan ini diperkirakan berpengaruh terhadap perkembangan aspek-aspek kejiwaan termasuk jiwa keagamaan. Di luar itu, dijumpai pula kondisi kepribadian yang menyimpang seperti kepribadian ganda (double personality) dan sebagainya. Kondisi seperti ini bagaimanapun ikut mempengaruhi perkembanagn berbagai aspek kejiwaan pula.
4.      Kondisi Kejiwaan
Kondisi kejiwaan ini terkait dengan kepribadian sebagai faktor intern. Ada beberapa model pendekatan yang mengungkapkan hubungan ini. Model Psikodinamik yang dikemukakan Sigmund Freud menunjukan gangguan kejiwaan ditibulkan oleh konflik yang tertekan di alam ketidaksadaran manusia. Konflik akan menjadi sumber gejala kejiwaan yang abnormal. Selanjutnya, menurut pendekatan biomedis, fungsi tubuh yang dominan mempengaruhi kondisi jiwa seseorang. Penyakit ataupun faktor genetik atau sistem saraf diperkirakan menjadi sumber munculnya perilaku abnormal. Kemudian pendekatan eksistensial menekankan pada dominasi pengalaman kekinian manusia. Dengan demikian, sikpa manusia ditentukan oleh stimulant (rangsangan) lingkungan yang dihadapinya saat itu.
Walaupun kemudian ada pendekatan model gabungan. Enurut pendekatan ini pola kepribadian dipengaruhi oleh berbagai faktor dan bukan hanya oleh faktor-faktor tertentu saja[1][1]. Pendekatan-pendekatan psikologi kepribadian ini menginformasikan bagaimana hubungan kepribadian  dengan kondisi kejiwaan manusia. Hubungn ini selanjutnya mengungkapkan bahwa ada suatu kondisi kejiwaan yang cenderung bersifat permanent pada diri manusia yang terkadang bersifat menyimpang (abnormal).
Gejala-gejala kejiwaan yang abnormal ini bersumber dari kondisi saraf (neurosis), kejiwaan (psychosis) dan kepribadian (personality). Kondisi kejiwaan yang bersumber dari neurose ini  menimbulkan gejala kecemasan neurose, absesi, dan kompulasi serta amnesia[2][2]. Kemudian, kondisi kejiwaan yag disebabkan oleh gejala psikosis umumnya menyebabkan seseorang kehilangan kontak hubungan dengan dunia nyata. Gejala ini ditemui pada penderita schizophrenia, paranoia, maniac, serta infantile autism.
Banyak jenis perilaku abnormal yang bersumber dari kondisi kejiwaan yang tak wajar ini. Tetapi yang penting dicermati adalah hubungannya dengan perkembangan jiwa keagamaan. Sebab bagaimanapun seorang yang mengidap schizopernia akan mengisolasi diri dari kehidupan social serta persepsinya tentang agama akan dipengaruhi oleh berbagai halusinasi. Demikian pula pengidap phobia akan dicekam oleh perasaan takut yang irasional. Sedangkan penderita infantile autisme akan berperilaku seperti anak-anak di bawah usia sepuluh tahun.
   
 B.  Faktor Ekstern
1.      Lingkungan Keluarga
Keluarga merupakan satuan sosial yang paling sederhana dalam kehidupan manusia. Anggota-anggotanya terdiri atas ayah ibu dan anak-anak. Bagi anak-anak, keluarga merupakan lingkungan sosial pertama yang dikenalnya. Dengan demikian, kehidupan keluarga menjadi fase sosialisasi awal bagi pembentukan jiwa keagamaan anak.
Pengaruh kedua orangtua terhadap perkembangan jiwa keagamaan anak dalam pandangan Islam sudah lama disadari. Oleh karena itu, sebagai intervensi terhadap perkembangan jiwa keagamaan tersebut, kedua orangtua diberikan beban tanggungjawab. Ada semacam rangkaian ketentuan yang dianjurkan kepada orangtua, yaitu mengazankan ke telinga bayi yang baru lahir, mengakikah, memberi nama yang baik, mengajarkan membaca al-Qur’an, membiasakan shalat serta bimbingan lainnya yang sejalan dengan perintah agama. Keluarga dinilai sebagai faktor yang paling dominan dalam meletakkan dasar bagi perkembangan jiwa keagamaan.
2.      Lingkungan Institusional
Lingkungan institusional yang ikut mempengaruhi perkembangan jiwa keagamaan dapat berupa institusi formal seperti sekolah ataupun yang nonformal seperti berbagai perkumpulan dan organisasi.
Sekolah sebagai institusi formal ikut memberi pengaruh dalam membantu perkembangan kepribadian anak. Menurut Singgih D. Gunarsa pengaruh itu dapat dibagi tiga kelompok, yaitu: 1) kurikulum dan anak; 2) hubungan guru dan murid; 3) hubungan antar anak[3][3]. Dilihat dari kaitannya dengan perkembangan jiwa keagamaan, tampaknya ketiga kelompok tersebut ikut berpengaruh. Sebab, pada prinsipnya perkembangan jiwa keagamaan tak dapat dilepaskan dari upaya untuk membentuk kepribadian yang luhur, dalam ketiga kelompok itu secara umum tersirat unsur-unsur kejujuran, simpati, sosiabilitas, toleransi, keteladanan, sabar dan keadilan Perlakuan dan pembiasaan bagi pembentukan sifat-sifat seperti itu  umumnya menjadi bagian dari program pendidikan di sekolah.
Melalui kurikulum, yang berisi materi pengajaran, sikap, dan keteladanan guru sebagai pendidik serta pergaulan antarteman di sekolah sinilai berperan dalam menanamkan kebiasaan yang baik. Pembiasaan yang baik merupakan bagian dari pembentukan moral yang erat kaitannya dengan perkembangan jiwa keagamaan seseorang.
3.      Lingkungan Masyarakat
Lingkungan masyarakat merupakan lingkungan yang mengandung unsur tanggung jawab, melainkan hanya merupakan unsure pengaruh belaka[4][4], tetapi norma dan tata nilai yang ada terkadang lebih mengikat sifatnya. Bahkan terkadang pengaruhnya lebih besar dalam perkembangan jiwa keagamaan, baik dalam bentuk positif maupun negative. Misalnya, lingkungan masyarakat yang memiliki tradisi keagamaan yang kuat akan berpengaruh positif bagi perkembangan jiwa keagamaan anak, sebab kehidupan keagamaan terkondisi dalam tatanan nilai maupun institusi keagamaan. Keadaan seperti ini bagaimanapun akan berpengaruh dalam pembentukan jiwa keagamaan warganya.
Sebaliknya, dalam lingkungan masyarakat yang lebih cair atau bahkan cenderung sekuler, kondisi seperti ini jarang dijumpai. Kehidupan warganya lebih longgar, sehingga diperkirakan turut mempengaruhi kondisi kehidupan keagamaan warganya. 

 C.    Fanatisme dan Ketaatan
Suatu tradisi keagamaan dapat menimbulkan dua sisi dalam perkembangan jiwa keagamaan seseorang, yaitu fanatisme dan ketaatan. Mengacu kepada pendapat Erich Fromm bahawa karakter terbina melalui asimilisai dan sosialisasi, maka tradisi keagamaan memenuhi kedua aspek tersebut.
          Suatu Tradisi keagamaan membuka peluang bagi warganya untuk berhubungan dengan warga lainnya (sosialisasi). Selain itu juga, terjadi hubungan dengan benda-benda yang mendukung berjalannya tradisi keagamaan tersebut (asimilasi), seperti institusi keagamaan dan sejenisnya. Hubungan ini menurut tesis Erich Fromm berpengaruh terhadap pembentukan karakter seseorang.
          David Riesman melihat ada tiga model konfirmitas karakter, yaitu: 1) arahan tradisi (tradition directed); 2) arahan dalam (inner directed); dan 3) arahan orang lain (other directed), sebagai jabaran tipe karakter [5][5].Tetapi tulis Gardon Allport, Buss dan Plomin, perkembangan emosional merupakan sentral bagi konsep tempramen dan kepribadian[6][6].
          Pendapat tersebut mengungkapkan bahwa karakter terbentuk oleh pengaruh lingkungan dan dalam pembentukan kepribadian, aspek emosional dipandang sebagai unsur dominan. Fanatisme dan ketaatan terhadap ajaran agama agaknya tak dapat dilepaskan dari peran aspek emosional.
          David Riesman melihat bahwa tradisi cultural sering dijadikan penentu dimana seorang harus melakukan apa yang telah dilakukan nenek moyang[7][7]. Dalam menyikapi tradisi keagamaan juga tak jarang munculnya keenderungan seperti itu. Jika kecenderungan taklid keagamaan tersebut dipengaruhi unsure emosional ini akan menjurus kepada fanatisme. Sifat fanatisme dinilai merugikan bagi kehidupan beragama. Sifat ini dibedakan dari ketaatan. Sebab, ketaatan merupakan upaya untuk menampilkan arahan dalam (inner directed) dalam menghayati dan mengamalkan ajaran agama.






[1][1] Arno F. Wittig, Introduction to Psychology, New York: Mc. Graw Hill Book, 1977, hal 264-265.
[2][2] Arno F. Wittig, Introduction to Psychology, New York: Mc. Graw Hill Book, 1977, hal 265.
[3][3] Y. Singgih D. Gunarsa dan Singgih D. Gunarsa, Psikologi untuk Membimbing, Jakarta: Gunung Mulia, 1989,  hal 96.
[4][4] Sutari Imam Barnadib, Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis, Yogyakarta: FIP-IKIP, 1987 hal. 117.
[5][5] Phillip K. Back, Continuites in Psychological Anthropology, San Fransisco, W.H. Freeman and Coy, 1980, hal. 121-122.
[6][6] William T. Garrison,  & Felson J. Earls, Temprament and Child Psychology, vol 12, London, 1987, hal. 39.
[7][7] Phillip K. Back, Continuites in Psychological Anthropology, San Fransisco, W.H. Freeman and Coy, 1980, hal. 121